Mungkin mendengar kata ataupun slogan penolakan kenaikan BBM tidak asing lagi bagi kita.setiap hari media elektronik ataupun media cetak selalu membawakan topik ini sebagai ulasan utama.memang wajar karena BBM merupakan sumber energi yang masih dimamfaatkan oleh negara kita.identitas RI yang mulai sejak dulu dianggap sebagai negara kaya membuat kebijakan terhadap BBM menjadi pusat perhatian pemerintah,DPR dan rakyat dan bahkan juga media-media negara lain.Bahan Bakar Minyak atau yang lebih kita kenal sebagai BBM merupakan salah satu jenis sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui atau dengan kata lain semakin lama akan semakin habis jika terus digunakan.menurut saya negara kita sekarang ini bukan lagi dianggap sebagai negara kaya minyak karena dalam kenyataan nya untuk memenuhi kebutuhan energi nasional negara kita sudah melakukan impor minyak dari luar negeri.Negara kaya minyak harusnya mengontrol pergerakan harga minyak dunia,tetapi dalam kenyataannya Negara RI dalam penyusunan APBN nya tergantung terhadap pergerakan harga minyak dunia.Terlepas dari perdebatan negara kaya atau negara miskin disini saya ingin berbagi wacana atau persepsi dari seorang akademisi yang tak lain merupakan mantan wakil menteri ESDM saat ini.
Akademisi yang hobi mendaki gunung dan rendah hati ini memiliki pemikiran mengenai pengelolaan energi di Indonesia. Menurut Widjajono, ada lima kesalahan persepsi mengenai energi di Indonesia.
Pertama, Indonesia adalah negara yang kaya minyak, padahal tidak. "Kita lebih banyak memiliki energi lain, seperti batu bara, gas, CBM (Coal Bed Methane), shale gas, panas bumi, air, BBN (bahan bakar nabati), dan sebagainya," kata Widjajono dalam surat elektroniknya kepada Tempo, 8 April 2012.
Cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,7 miliar barel. "Justru kita lebih banyak memiliki energi nonminyak," ujarnya dalam e-mail. Cadangan terbukti ini hanya 0,3 persen cadangan terbukti dunia. Dia membandingkan dengan gas bumi yang cadangan terbuktinya 112,4 TSCF dan batu bara 17,8 miliar ton.
Salah persepi yang kedua, harga bahan bakar minyak harus murah sekali tanpa berpikir bahwa hal ini menyebabkan terkurasnya dana pemerintah untuk subsidi harga BBM. Menurut Widjajono, ketergantungan terhadap BBM yang berkelanjutan dan impor minyak menyebabkan makin sulitnya energi lain berkembang.
Tahun 2011, Indonesia memproduksi minyak 902 ribu barel per hari, gas 1,5 juta barel ekuivalen per hari, dan batu bara 3,4 juta barel ekuivalen per hari. "Sebagai negara net importir minyak dan tidak memiliki cadangan terbukti minyak banyak, tidak bijaksana apabila mengikuti harga BBM murah di negara-negara yang cadangan minyaknya melimpah," ujarnya.
Salah persepsi yang ketiga, investor akan datang dengan sendirinya tanpa perlu bersikap bersahabat dan memberikan iklim investasi yang baik, padahal tidak.
Supaya investor datang ke Indonesia, menurut Widjajono, perlu perbaikan sistem fiskal, meningkatkan kualitas pelelangan dan informasi wilayah kerja yang ditawarkan, perbaikan regulasi dan birokrasi, dan kualitas aturan hukum.
Keempat, peningkatan kemampuan nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa keberpihakan pemerintah, padahal tidak. Menurut dia, ini bisa terjadi apabila terdapat keberpihakan pemerintah.
Misalnya untuk kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya energi yang sudah habis, maka pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis, dan keuangan. "Tidak tertutup kemungkinan tetap bekerja sama dengan operator sebelumnya," kata Widjajono.
Terakhir, kelima, Indonesia diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia, padahal tidak. Ia membandingkan produksi minyak dengan harga minyak dan mengaitkannya dengan impor minyak mentah, yang justru menunjukkan defisit ketika ada kenaikan harga minyak dunia. Dengan impor minyak sebesar 770 ribu barel per hari, pemerintah justru defisit Rp 74 triliun per tahun, dengan asumsi APBN-P harga minyak US$ 105 barel.(dikutip dari tempo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar